“Saat saya berjalan-jalan di sekitar stupa, saya sesekali melihat gumpalan permen karet ditempelkan pada panel batu berukir berusia 1.200 tahun. Namun, karena anak-anak sekolah hanya diperbolehkan masuk ke dalam halaman dan tidak diperbolehkan masuk ke dalam candi, saya lega karena masalah urin berkurang,” beber Watson.
Meski Din menyetujui peraturan baru di Candi Borobudur, ada pula yang mengeluhkan kondisi ini, menurut si penulis. Patrick Vanhoebrouk, seorang antropolog yang memberi kuliah pada para tamu di hotel mewah Amanjiwo di dekatnya tentang sejarah candi di Jawa, mengenang suatu masa “ketika saya menghabiskan sepanjang hari berkeliaran di sekitar candi, memeriksa panel-panel.”
Sekarang, ia dibatasi hanya satu jam dalam satu waktu. Namun, ia mengakui pekerjaan antropologis dan penelitiannya terhadap pembelajaran tantra kuno di candi terkadang memungkinkannya memiliki akses ke sana setelah jam kerja.
Di akhir ulasan, Watson menulis, “Saya mengunjungi Borobudur satu dekade lalu dan ingat berkeliaran dengan bebas, dengan sedikit wisatawan dan tanpa keamanan. Namun kunjungan saya di bulan November (2023), dengan patuh mengenakan gelang tangan dan sandal bambu, serta mengikuti pemandu saya berkeliling, sama ajaibnya, dan dipenuhi dengan kekayaan sejarah dan hal-hal kuno yang belum diketahui.”