Papan tulis rimba: Nasib guru honorer Indonesia – Setelah mengajar selama 16 tahun di sebuah sekolah dasar negeri di Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan, Hervina membawa pulang 500.000 rupiah (US$35) sebulan, ditambah insentif sebesar 700.000 rupiah yang didapatnya setiap empat bulan.
Nasib guru honorer Indonesia
Langkahnya baru-baru ini untuk membagikan situasinya di media sosial menjadi viral dan memicu kemarahan publik.
Karena dia dituduh merusak reputasi sekolah, kepala sekolah memecatnya tetapi kemudian mempekerjakannya kembali setelah campur tangan dari pemerintah daerah dan pusat.
Kasus ini telah mengungkap nasib ratusan ribu rekannya, yang dikenal sebagai guru honorer — istilah untuk guru tidak tetap yang diperbantukan ke sekolah untuk mengatasi kekurangan guru yang bergulat dengan upah rendah dan perlindungan pekerjaan yang lemah.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tahun lalu terdapat 728.461 guru honorer di seluruh sekolah, mulai dari tingkat SD hingga SMA.
Gaji guru jauh di bawah UMR di setiap provinsi
Menurut survei yang dilakukan Ikatan Guru Indonesia, 52,2 persen guru tersebut masih menerima gaji di bawah Rp 500.000 per bulan, jauh di bawah UMR di setiap provinsi yang rata-rata Rp 2,5 juta, sedangkan beban kerja mereka hampir sama. dari guru tetap.
Situasi seperti itu tidak hanya terjadi di sekolah negeri tetapi juga di sekolah swasta termasuk sekolah Katolik.
Aven Arut, seorang guru di sebuah sekolah dasar di Keuskupan Ruteng, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur selama tiga tahun terakhir, menerima 400.000 rupiah per bulan.
“Uang itu hanya cukup untuk membeli bensin sepeda motor yang saya gunakan untuk pergi ke sekolah dari rumah saya yang jaraknya lima kilometer,” katanya kepada UCA News, seraya menambahkan bahwa ia masih harus tinggal bersama orang tuanya.
Ia mengaku sudah beberapa kali mengikuti tes seleksi menjadi PNS namun gagal.
Fahriza Marta Tanjung, Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia, mengatakan peran guru honorer sangat penting karena di sejumlah daerah rasio guru-murid masih di bawah standar satu guru untuk 32 siswa.
Namun, kata dia, regulasi yang melindungi mereka masih minim, mayoritas bekerja dengan sistem kontrak yang berlangsung bertahun-tahun.
“Ini sebenarnya adalah sistem yang ditentang oleh para pekerja di dunia industri karena dalam sistem itu pemberi kerja tidak harus dibebani oleh tanggung jawab jangka panjang yang melekat pada karyawan tetap,” katanya kepada UCA News.
Pastor Vinsensius Darmin Mbula, Ketua Dewan Pendidikan Katolik Nasional, mengatakan di sekolah-sekolah Katolik sebagian besar guru honorer berada di daerah terpencil.
Dia mengatakan dewan telah mengimbau sekolah untuk memberi mereka gaji yang layak. “Namun, jumlahnya tergantung pada kemampuan keuangan sekolah,” katanya kepada UCA News.
Ia menambahkan, pihaknya telah menerima laporan dari berbagai sekolah yang mengalami kesulitan akibat dampak pandemi, dengan banyaknya orang tua yang meminta keringanan biaya sekolah.
“Ini juga mempersulit posisi sekolah, termasuk pemenuhan gaji guru,” ujarnya.
Sementara itu, menyusul kemarahan atas kasus Hervina, Iwan Syahril, Direktur Jenderal Pendidik dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan, mengatakan telah menyiapkan skema untuk mengatasi masalah tersebut.
Pada bulan Juni, mereka akan mengadakan tes menjadi PNS dengan perjanjian kerja dimana guru yang lulus akan menerima gaji setara PNS. “Kami yakin ini akan menjawab masalah kesejahteraan guru honorer,” ujarnya.
Kementerian sedang menyiapkan alokasi untuk satu juta guru, yang juga terbuka untuk lulusan baru. Sejauh ini, kebijakan tersebut mendapat tanggapan beragam.
Arut mengatakan akan berusaha memanfaatkan kesempatan itu dan berencana mengikuti tes. “Saya pasti akan mengikuti tes karena tidak mungkin melanjutkan situasi ini,” katanya.
Sementara itu, Yashinta (bukan nama sebenarnya), guru honorer tiga anak di Bandung, Provinsi Jawa Barat, yang sudah 10 tahun mengajar di SD, berharap ada perhatian khusus bagi mereka yang sudah mengabdi bertahun-tahun.
“Saya berusia 50 tahun dan merasa tidak mungkin lulus ujian,” katanya sambil menambahkan bahwa mereka mengharapkan penghasilan tambahan yang dialokasikan khusus oleh pemerintah.
Meski mengapresiasi program kementerian, Pastor Mbula juga keberatan. Dia mengatakan, harus ada kebijakan khusus bagi guru dari sekolah swasta yang lulus tes untuk dipindahkan ke sekolah tersebut.
“Selama ini banyak sekolah Katolik kecewa karena banyak guru yang dibantu khusus secara intensif dalam berbagai aspek selama bertahun-tahun, kemudian dengan mudahnya pindah ketika sudah memenuhi syarat sebagai PNS,” katanya.
“Bahkan menempatkan guru-guru yang digaji oleh pemerintah di sekolah-sekolah swasta, terutama di daerah terpencil dan yang kesulitan keuangan, merupakan bentuk dukungan terhadap keberadaan sekolah-sekolah tersebut.”