Darurat Krisis Iklim dan Kehabisan Air Bersih, Presiden Maladewa Batalkan Rencana Relokasi Warganya

“Jika kita perlu menambah wilayah untuk tempat tinggal atau kegiatan ekonomi lainnya, kita bisa melakukannya,” kata Muizzu kepada kantor berita AFP, berbicara dari ibu kota Male yang padat, yang dikelilingi tembok laut beton.

Ia menyambung, “Kami mandiri untuk menjaga diri kami sendiri.”

Akankah penduduk Maladewa terpaksa pindah? Negara kecil Tuvalu bulan ini menandatangani kesepakatan untuk memberikan warganya hak untuk tinggal di Australia ketika tanah air mereka di Pasifik hilang di bawah lautan.

Namun, Muizzu mengatakan Maladewa tidak akan mengikuti jalur itu. “Saya dapat mengatakan dengan tegas bahwa kita tidak perlu membeli tanah atau bahkan menyewa tanah dari negara mana pun,” kata Muizzu.

“Tanggul laut akan memastikan kawasan berisiko dapat “dikategorikan sebagai pulau yang aman”, katanya.

Sekitar 80 persen wilayah Maladewa berada kurang dari satu meter di atas permukaan laut. Meskipun tembok-tembok seperti benteng yang mengelilingi pemukiman padat dapat menahan ombak, nasib pulau-pulau pantai yang dikunjungi wisatawan masih belum pasti. 

Pariwisata menyumbang hampir sepertiga perekonomian Maladewa, menurut Bank Dunia. Presiden sebelumnya, Nasheed Maumoon Abdul Gayoom, adalah orang pertama yang memperingatkan kemungkinan ‘kematian suatu bangsa’. Ia memperingatkan PBB pada 1985 tentang ancaman kenaikan permukaan air laut yang terkait dengan perubahan iklim.

Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) PBB memperingatkan pada 2007 bahwa kenaikan suhu sebesar 18 hingga 59 sentimeter akan membuat Maladewa hampir tidak dapat dihuni pada akhir abad ini. Namun sekarang, lampu peringatan sudah berkedip merah.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *